Mata uang kripto seperti Bitcoin mulai heboh di Indonesia dan dunia ketika harganya melonjak pada medio 2017-an. Bahkan, regulator seperti Bank Indonesia dan bank sentral negara lain memperingatkan kalau mata uang kripto itu belum menjadi alat pembayaran yang sah.
Salah satu alasan mata uang kripto seperti Bitcoin tidak bisa menjadi alat pembayaran adalah karena fluktuasi harganya terlalu tinggi. Hal itu bisa berisiko untuk pelaku pasar yang melakukan transaksi dengan mata uang kripto.
BACA INI: Investor Paling Sukses di Dunia Raup Untung 401 Juta Persen
Namun, mata uang kripto masih bisa dijadikan aset yang diperjualbelikan sebagai komoditas. Regulator yang mengurus perdagangan komoditas, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), menyambut hangat euforia mata uang kripto saat itu.
Di sisi lain, lembaga keuangan dan bank sentral melihat sisi positif dari keberadaan mata uang kripto, yakni sistem blockchain. Lembaga keuangan mengaku terbuka untuk mengadopsi sistem blockchain tersebut.
“Blockchain adalah catatan transaksi digital yang menghubungkan catatan individu yang disebut block yang terhubung dengan daftar tunggal milik individu lainnya yang disebut chain. Intinya, blockchain dianggap mempermudah proses transaksi” Definisi Blockhain
Isi Konten
- Penyebab Lonjakan Harga Bitcoin pada 2020: harga Bitcoin jelang tutup tahun 2020 melonjak drastis tembus Rp320 jutaan per unit.
- Lonjakan Peredaran Dolar AS Bikin Permintaan Bitcoin Melejit: Program stimulus pemulihan ekonomi bikin jumlah dolar AS yang beredar semakin banyak. Bahkan, 50 persen dolar AS yang beredar saat ini baru dicetak pada tahun ini.
- Aset Lindung Nilai, Momentum Bitcoin Gantikan Emas : Banyaknya jumlah dolar AS yang beredar membuat munculnya kekhawatiran kenaikan inflasi di AS. Jadi, banyak investor cari aset lindung nilai, salah satunya Bitcoin.
- Historis Pengaruh Momen Halving terhadap Harga Bitcoin: Penjelasan ini bakal bikin kamu paham kenapa harga Bitcoin melonjak drastis pada 2017
- Investor Institusi Gencar Simpan Bitcoin: Permintaan Bitcoin dari investor institusi melonjak tinggi pada tahun ini. Hampir 1 juta Bitcoin dimiliki oleh investor institusi
Penyebab Lonjakan Harga Bitcoin Pada 2020
Harga Bitcoin pernah melejit pada 2017 menjadi senilai Rp266 juta per unit. Kala itu, Bitcoin benar-benar mencuri perhatian publik. Namun, setelah itu harga Bitcoin merosot dalam hingga pernah sentuh Rp46 juta per unit. Akhirnya, banyak yang berasumsi lonjakan harga Bitcoin hanyalah booming sesaat, sampai ada yang menyamakannya dengan tren batu akik.
Nah, harga Bitcoin kembali melejit drastis dan tembus rekor tertinggi sepanjang masa pada Desember 2020. Berbeda dengan 2017, kali ini banyak analisis terkait faktor pendongkrak harga mata uang kripto paling populer di dunia tersebut.
Salah satunya adalah aksi Federal Reserve (The Fed), bank sentral AS, mencetak lebih banyak uang untuk stimulus pemulihan ekonomi akibat Covid-19. Lalu, apa hubungannya dengan kenaikan harga Bitcoin?
50 Persen Dolar AS yang Beredar Dicetak pada Tahun Ini
Sejak meninggalkan sistem moneter standar emas pada 1971, jumlah dolar AS yang beredar terus meningkat. Sejak 1975 sampai 9 Maret 2020, total peredaran dolar AS meningkat dari 273,4 miliar dolar AS menjadi 4 triliun dolar AS.
Jumlah peredaran dolar AS tumbuh makin tinggi pada 30 November 2020 menjadi 6,5 triliun dolar AS. Penyebabnya, banyak program stimulus untuk pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Bahkan, kongres AS lagi membicarakan untuk pengesahan stimulus tambahan senilai 1 triliun dolar AS. Jika benar disahkan, 50 persen peredaran dolar AS di dunia saat ini dicetak pada 2020.
Program stimulus dengan nilai raksasa itu membuat beberapa investor memprediksi kebijakan itu bakal menaikkan inflasi AS ke depannya.
“Jika peningkatan jumlah uang beredar lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi sektor riil, maka inflasi bisa meningkat. Soalnya, permintaan barang akan meningkat, tetapi pasokan barang tetap. Jadi, pengusaha akan menaikkan harga barang”Penjelasan hubungan uang beredar dengan inflasi
Dengan begitu, para investor pun mencari aset investasi yang minimal bisa mempertahankan nilainya dari potensi lonjakan inflasi. Di sini, beberapa investor memilih Bitcoin sebagai instrumen investasi lindung nilai terhadap potensi kenaikan inflasi.
Aset Lindung Nilai, Pilih Emas atau Bitcoin
Ada beberapa instrumen investasi yang dinilai bisa melindungi aset dari gerusan inflasi, salah satu yang populer hingga kini adalah emas.
Alasan emas sangat populer untuk aset lindung nilai karena persediaannya cenderung terbatas. Di sisi lain, permintaan emas untuk digunakan lindung nilai cukup tinggi sehingga ketika permintaan lebih tinggi daripada persediaan, harga pun bisa melonjak.
Namun, beberapa waktu terakhir muncul sikap skeptis soal persediaan emas. Persediaan emas memang terbatas, tetapi tidak ada yang bisa verifikasi berapa banyak persediaan yang tersisa saat ini.
Lalu, ada juga logika ‘yang mungkin tidak masuk akal’ kalau emas juga ada di luar bumi. Jadi, pada suatu hari nanti persediaan emas bisa bertambah melalui aksi penambangan asteroid. Hal itu bisa dilakukan seiring dengan kemajuan teknologi.
Sementara itu, dengan berbagai asumsi terkait emas, posisi Bitcoin lebih pas untuk menjadi lindung nilai. Soalnya, pasokan Bitcoin sudah dibatasi hanya 21 juta unit sampai 2140.
Kini, total koin Bitcoin yang sudah ditambang mencapai 18,5 juta unit. Artinya, persediaan Bitcoin yang belum ditambang tinggal kurang dari 3 juta unit lagi. Padahal, masa persediaan 21 juta unit itu masih sekitar 120 tahun lagi.
Momen Halving Bitcoin
Salah satu yang bisa mengerek harga Bitcoin adalah halving, yakni momentum ketika imbalan menambang berkurang setengahnya. Jika imbalan berkurang, aktivitas penambangan juga akan turun. Hal itu bisa membuat laju pertumbuhan persediaan akan melambat.

Ada beberapa momentum halving yang bikin harga Bitcoin melejit. Pertama, halving pada November 2012 yang bikin harga Bitcoin naik dari 12 dolar AS menjadi 1.150 dolar AS.
Halving kedua terjadi pada Juli 2016 yang bikin harga mata uang kripto itu melejit dari 650 dolar AS menjadi sekitar 19.000 dolar AS pada 17 Desember 2017.
Setelah lonjakan yang luar biasa pada 2017, harga Bitcoin pada 2018 melorot drastis hingga sentuh 3.200 dolar AS. Meskipun begitu, harga Bitcoin tetap lebih tinggi ketimbang periode sebelum halving kedua.
Nah, halving ketiga terjadi pada 11 Mei 2020 dan menjadi salah satu penyebab harga Bitcoin tembus rekor baru sepanjang sejarah dekati 23.000 dolar AS.
Investor Institusi Gencar Simpan Bitcoin
Euforia Bitcoin tidak hanya dialami oleh investor ritel saja, tetapi juga investor institusi. Para investor institusi ini mulai agresif menyimpan sebagian uangnya di aset mata uang kripto paling populer tersebut.
Investor institusi teranyar yang mengoleksi Bitcoin antara lain, Square, Microstrategy, dan MassMutual. Secara total ada 953.190 Bitcoin yang kini sekitar US$22,12 miliar yang dibeli oleh investor institusi.
Tak hanya mengoleksi Bitcoin, beberapa perusahaan juga mual menyediakan layanan untuk transaksi mata uang kripto. Paling heboh adalah keputusan Paypal yang mengizinkan akses untuk mata uang kripto ke 360 juta pengguna aktifnya.
Lalu, ada Fidelity Digital Assets yang telah menyediakan layanan kustodian untuk mata uang kripto sejak Oktober 2018. Kini, Fidelity juga memungkinkan klien untuk menjaminkan Bitcoin sebagai jaminan dalam sebuah transaksi.
Chicago Board Options Exchange (CBOE) dan Chicago Mercantile Exchange (CME) berencana meluncurkan produk mata uang kripto pada tahun depan. Bahkan, JP Morgan siap membuka peluang JPM Coin untuk sistem pembayaran. Ditambah, China juga mulai uji coba yuan digital pada tahun ini.
Dengan berbagai faktor di atas, salah satu investor institusi Bitcoin Guggenheim Investment menilai harga Bitcoin harusnya tembus 400.000 dolar AS atau Rp5,64 miliar per unitnya.
Kira-kira mungkin enggak ya harga Bitcoin bisa melejit ke arah sana?
Comments